Jumat, 11 Juli 2008

cerpen

KARENA KAU PEREMPUAN
Cerpen Eddi Koben

Lelaki itu berbaring terlentang di tempat tidur. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Sesekali ia menggelengkan kepalanya. Sesekali pula matanya terpejam sambil menarik nafas panjang. Sementara di luar sana terdengar gemerisik angin menyapu dedaunan. Cahaya bulan yang temaram menyelinap di sela-sela dedaunan itu. Malam semakin larut dan dingin. Lelaki itu menarik selimutnya sebatas dada. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tetap menerawang jauh.
Malam itu adalah malam menjelang pergantian tahun. Jam dinding menunjukkan pukul 23.38 WIB. Biasanya lelaki itu selalu menghabiskan malam pergantian tahun di jalanan atau diskotek. Kali ini ia cukup melewati malam pergantian tahun di kamar saja. Sekitar dua puluh menit lagi dunia akan berganti tahun. Mengganti segala sesuatu yang purba dengan segala sesuatu yang baru. Meninggalkan segala kenangan pahit menjadi onggokan sejarah.
Perlahan kedua kelopak matanya membuka lagi menatap langit-langit kamar. Di situlah ia menemukan lukisan kenangan masa lalunya. Masa-masa yang membuatnya merasa nyaman dengan kasih sayang ayah, ibu, saudara, dan teman-temannya.
Sudah beberapa hari bahkan seminggu lamanya ia tak dapat tidur dengan nyenyak. Pikirannya selalu dihantui perasaan bersalah. Salah pada diri sendiri, pada isteri, ayah, ibu, saudara, dan teman-temannya yang menyebabkannya merasa terasing. Kesalahan yang teramat dirasakannya adalah kesalahan pada isterinya yang ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu, persis sehari setelah melangsungkan pernikahannya. Ia tak bisa berbuat banyak. Inilah kenyataannya. Ia tak bisa mencintai isterinya. Siapakah yang bersalah? Kenyataannya memang aku tak bisa mencintai isteriku. Pertanyaan itulah yang membuat lelaki itu selalu merasa terpojok.
Malam itu adalah malam menjelang pergantian tahun. Ia kembali mentamasyakan pikirannya jauh ke masa silam, entah berapa tahun yang lalu. Saat itu dengan dingin ia tinggalkan rumah persis sehari setelah melangsungkan perkawinannya. Isterinya yang belum sempat dijamahnya hanya bisa menyaksikan kepergiannya dengan linangan air mata. Lelaki itu pergi meninggalkan isteri, ayah, ibu, saudara, dan teman-temannya. Meninggalkan semua orang yang pernah mencintainya.
“Maafkan aku! Aku tak bisa mencintaimu,” ucapnya lirih pada isterinya yang baru saja ia nikahi. Lalu ia pergi. Itulah ucapan terakhir menjelang kepergiannya. Aku tak mau mengorbankan perasaanku untuk sesuatu yang tidak aku senangi, pikirnya ketika itu. Ia merasa ayah dan ibunya telah memerkosa kebebasannya sebagai manusia dengan cara menjodohkannya kepada perempuan cantik pilihan mereka. Ya, isterinya memang cantik. Tapi entahlah, kecantikan isterinya itu tak membuat ia berhasrat kepadanya.
Haruskah aku mengorbankan perasaanku hanya untuk mengikuti keinginan ayah dan ibu? Pertanyaan itu selalu membelenggu pikirannya. Dan jawabannya tetap saja, tidak.
***
Hari-hari pertama sejak ia pergi meninggalkan rumah merupakan hari-hari yang sangat menyiksanya. Bayangan isteri, ayah, ibu, saudara, dan teman-teman yang mengasihinya selalu berkelebat di pelupuk matanya. Kadang ia merasa berdosa kepada mereka. Kadang ia merasa benci juga. Namun, sisi hatinya tak sanggup menolak kenyataan. Kenyataan yang sungguh pahit, yang menjadi beban teramat berat yang mesti dipikulnya selama menjalani hidup.
Kadang ia merasa kasihan pada isterinya yang ia tinggalkan sebelum sempat menikmati malam pengantin. Lalu timbul perasaan berdosa yang teramat besar. Tapi siapa yang patut disalahkan kalau memang kenyataannya begini? Kadang ia ingin protes pada Tuhan atas takdir hidup yang dijalaninya, yang menurutnya sungguh tidak adil. Takdir yang selalu membuatnya merasa berdosa pada isterinya. Haruskah aku menyalahkan Tuhan? Tanyanya dalam hati seolah ia tidak meyakini apa yang sedang dirasakannya. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, lalu menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan cepat seolah sedang melepaskan beban yang selama ini menindih pikirannya.
Malam semakin larut. Lelaki itu melirik jam dinding. Pukul 23.57 WIB. Artinya, tinggal beberapa menit lagi tahun akan berganti. Gemerisik angin di luar jendela terdengar memecah sunyi. Kisi-kisi jendela masih membiarkan cahaya bulan leluasa menerobosnya. Tiba-tiba ia tersenyum. Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya, menyibakkan selimut yang meliliti tubuhnya. Ditekannya saklar yang menempel di dinding. Lampu neon 11 Watt menerangi ruangan kamarnya yang berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter persegi itu.
Ia raih sebuah terompet yang tergeletak di lantai bersama koran-koran bekas dan majalah yang berserakan. Terompet itu dibelinya siang tadi di pinggir jalan sebelum ia pulang. Ditatapnya terompet itu dalam-dalam. Bibirnya masih menyisakan sesungging senyum. Ia teringat akan teman-temannya yang selalu merayakan pergantian tahun di jalanan atau diskotek dengan meniup terompet keras-keras tepat pada jam dua belas malam. Dilanjutkan dengan acara minum bir sampai mabuk diiringi dengan alunan house music yang menghentak. Kegiatan seperti itu kerap ia ikuti setiap tahun semenjak ia pergi meninggalkan keluarganya. Tapi kali ini ia tidak merayakan pergantian tahun bersama teman-temannya. Ia ingin merasakan malam pergantian tahun sendiri saja sambil mengingat seluruh kenangan yang telah dilaluinya. Kali ini ia ingin meniup terompet khusus untuk isterinya yang telah lama ia tinggalkan. Semoga dengan begini perasaan berdosa pada isteriku akan berkurang, pikirnya.
Jarum jam melaju perlahan. Detik demi detik melaju mendekati angka dua belas. Suaranya lebih nyaring memecah sunyi. Jam 23.59.55 WIB. Lima detik lagi! Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam. Didekatkannya ujung terompet itu ke bibirnya. Dalam hitungan detik, jarum jam itu akan sampai pada angka dua belas. Satu hembusan saja akan bisa mengeluarkan suara yang nyaring dari terompet itu. Ia bersiap menghembuskan nafasnya. Jarum jam terus melaju perlahan mendekati angka dua belas. Lelaki itu menatap lirih jarum jam. Dalam hatinya ia mulai berhitung. Lima enam… lima tujuh… lima delapan… lima sembilan… dan… enam puluh!
Sunyi. Tak ada bunyi terompet yang bising keluar dari mulut lelaki itu. Ia diam terpaku menatap jarum jam. Tangannya gemetar memegang pangkal terompet. Perlahan dilepaskannya terompet itu dari bibirnya. Ia melangkah gontai menuju tempat tidur. Tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Matanya berkaca-kaca. Basah. Lalu jatuh mengaliri pipinya membentuk aliran sungai kecil di pipinya. Ia gigit sendiri bibirnya menahan isak. “ Aku tak bisa melakukannya untukmu,” ucapnya lirih. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berat sekali seperti tertimpa bongkahan batu.
Jarum jam telah jauh meninggalkan angka dua belas. Ia tak kuasa menahan kantuk yang datang menyergapnya. Perlahan ia katupkan kedua kelopak matanya. Kepalanya terkulai di atas bantal. Nafasnya bergerak teratur seiring detik-detik jarum jam meninggalkan malam. Suara dengkurnya sesekali terdengar lirih.
Lelaki itu baru terjaga ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara langkah sepatu mendekat. Semakin lama suara langkah sepatu itu semakin jelas terdengar. Suara pintu terdengar berderit. Ia menggeliat bangun. Dikucek-kuceknya kedua kelopak matanya. Perih. Dilihatnya seseorang dengan gaun malam khas pesta berdiri di pintu dengan sesungging senyum. Senyum yang selama beberapa tahun terakhir ini mampu mendamaikan jiwanya. Orang itu berbadan langsing. Dengan langkah gemulai orang itu menghampirinya.
“Semalam yey nggak ke luar, Nit? Aih, kenapa Bo? Yey sakit?” tanya orang itu dengan gayanya yang centil. Lelaki yang ternyata dipanggil Nita itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit.
“Heh, semalam Om Harsono nanyain yey. Katanya kenapa yey nggak ke luar. Ya ike jawab aja kalau yey lagi sakit,” celoteh orang itu dengan gayanya yang masih tetap saja centil.. “Hey, jangan ngecewain pelanggan lho, nanti yey bisa-bisa ditinggalin! Mau cari doku dari mana lagi, Bo?” lanjutnya.
Lelaki itu hanya tersenyum pahit. Hatinya semakin terasa pedih. Pedih menerima kenyataan yang memang harus ia terima. Ia harus menanggung beban yang sungguh berat dirasakannya. Ia menoleh ke arah jam dinding, ke cermin, ke arah terompet yang tergeletak di lantai. Sekilas bayangan isterinya berkelebat. Hatinya berkata lirih, “Maafkan aku isteriku, karena kau perempuan!”***
Tanah Gintung, Agustus 2004

Tidak ada komentar: