Jumat, 11 Juli 2008

artikel

UJIAN NASIONAL RUNTUHKAN MORAL

Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/MA/SMK pada 21-23 April 2008 telah usai. Pelaksanaannya menyisakan beragam cerita. Nada-nada minor tentang pelaksanaan UN ini mulai merambat. Seperti pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya, cerita minor seputar UN ini rupanya telah menjadi rahasia umum.

Beberapa hari menjelang pelaksanaan UN salah satu media massa elektronik memberitakan bahwa telah terjadi tindakan asusila terhadap salah seorang siswi SMA di Jawa Tengah. Tindakan asusila tersebut dilakukan oleh seorang oknum paranormal terhadap seorang siswi SMA yang meminta jampi-jampi agar lulus UN. Alih-alih mendapat jampi-jampi, ia malah mendapat perlakuan yang tak senonoh dari sang paranormal.

Pada hari pertama pelaksanaan UN Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah sekolah penyelenggara UN. Bambang mendapati sejumlah pengawas di salah satu sekolah di Garut membawa alat komunikasi (handphone) padahal sesuai peraturan Badan Standard Nasional Pendidikan (BSNP) hal itu tidak dibenarkan karena berpotensi mendatangkan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Dan memang benar, kebocoran jawaban UN melalui SMS terjadi di beberapa sekolah di Bandung dan Makassar.

Pada hari kedua, 20 orang oknum guru di sebuah sekolah di Deli Serdang, Sumatera Utara, digiring oleh aparat kepolisian setempat karena kedapatan membagi-bagikan selembar kertas berisi jawaban soal-soal UN kepada peserta. Di salah sebuah sekolah di Jakarta sejumlah peserta UN dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat. Akibatnya, Mendiknas yang kebetulan melakukan sidak, langsung melakukan sidang di tempat terhadap beberapa pengawas yang terlibat.

Meski pada hari ketiga terkesan adem-ayem, tetap saja pelanggaran-pelanggaran serupa terjadi di sekolah-sekolah penyelenggara UN di tanah air ini. Seperti yang dituturkan seorang peserta UN kepada penulis, ia mengaku bisa mengisi soal-soal UN dengan santai karena telah memiliki jawaban yang diperoleh dari guru-gurunya.

Tindak kecurangan dalam UN tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Ironisnya yang melakukan tindakan tersebut bukan hanya peserta didik, melainkan juga para guru yang notabene sebagai pendidik yang selalu mengajari anak didiknya untuk berbuat jujur. Rupanya kejujuran pada saat UN mesti dikesampingkan terlebih dahulu demi ’keselamatan’.

Di sini tampak jelas bahwa perilaku guru benar-benar digugu dan ditiru oleh murid-muridnya. Sayangnya, perilaku yang ditunjukkan para guru ini adalah perilaku negatif yang tidak selayaknya ditiru oleh para murid. Benar-benar kita telah menyaksikan sebuah degradasi moral pada sebagian guru dan murid di Indonesia.

Ada satu pertanyaan yang mengemuka, mengapa para pelaku tindak kecurangan itu adalah para guru dan murid? Rata-rata mereka berkilah bahwa mereka terpaksa melakukannya karena takut. Para murid takut tidak lulus UN dan harus mengulangnya pada tahun berikutnya. Guru-guru pun tak jauh beda. Mereka takut kalau murid-muridnya banyak yang tak lulus, maka kredibilitasnya sebagai pengajar akan jatuh. Mereka khawatir disebut guru yang tak mampu membuat anak didiknya pintar dan lulus UN. Menjaga nama baik sekolah juga dijadikan salah satu alasan mengapa para guru bertindak curang.

Perilaku sebagian guru dan murid ini secara tidak langsung telah menjatuhkan martabat bangsa. Hal ini tak sejalan dengan cita-cita pendidikan nasional yang menginginkan terciptanya sumber daya manusia berkualitas dan berbudi luhur. Ujian Nasional sebagai media untuk mencapai cita-cita luhur tersebut ternyata malah menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya moral anak-anak bangsa.

Sebenarnya kecurangan-kecurangan itu tak perlu terjadi manakala pemerintah dan para pelaku pendidikan seiring sejalan dalam melaksanakan cita-cita mulia ini. Namun, rupanya sulit sekali mewujudkan cita-cita itu karena kurangnya kesadaran semua pihak. Sekarang kenyataannya berbeda. Sulit sekali membentuk kesadaran secara global.

Rupanya pemerintah dalam hal ini Depdiknas, tak usah lagi menutup mata. Tinjaulah kenyataan yang ada. Apakah dengan diselenggarakannya UN lebih banyak mendatangkan manfaat atau mudharat? Jika sekiranya lebih banyak mendatangkan mudharat, mengapa penyelenggaraan UN masih tetap saja dipaksakan? Sudah saatnya pemerintah memikirkan program lain yang lebih baik sebagai pengganti UN atau kembali saja pada sistem EBTANAS seperti beberapa tahun yang lalu.

Jika kebijakan Ujian Nasional ini masih tetap dilaksanakan, maka bukan tidak mungkin kecurangan-kecurangan itu akan terulang lagi. Dan moral anak bangsa akan semakin runtuh. Semoga semua pelaku pendidikan di negeri ini menyadari dan bisa berbuat yang terbaik. Bukankah kita tak ingin mengalami degradasi moral? Bukankah cita-cita luhur mewujudkan manusia berkualitas, bermoral, beriman, dan bertakwa ingin kita wujudkan? Semoga.***

Tangerang, April 2008

Tidak ada komentar: