Minggu, 23 November 2008


penampilan perdanaku menyanyikan lagu "Pelangi" ciptaan Koesplus


nah, ini salah satu penampilanku dalam memeriahkan peringatan bulan bahasa 2008 bulan nopember lalu

Rabu, 19 November 2008


pose koben dan santriwati 6 IPS A

Jumat, 11 Juli 2008

cerpen

KARENA KAU PEREMPUAN
Cerpen Eddi Koben

Lelaki itu berbaring terlentang di tempat tidur. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Sesekali ia menggelengkan kepalanya. Sesekali pula matanya terpejam sambil menarik nafas panjang. Sementara di luar sana terdengar gemerisik angin menyapu dedaunan. Cahaya bulan yang temaram menyelinap di sela-sela dedaunan itu. Malam semakin larut dan dingin. Lelaki itu menarik selimutnya sebatas dada. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tetap menerawang jauh.
Malam itu adalah malam menjelang pergantian tahun. Jam dinding menunjukkan pukul 23.38 WIB. Biasanya lelaki itu selalu menghabiskan malam pergantian tahun di jalanan atau diskotek. Kali ini ia cukup melewati malam pergantian tahun di kamar saja. Sekitar dua puluh menit lagi dunia akan berganti tahun. Mengganti segala sesuatu yang purba dengan segala sesuatu yang baru. Meninggalkan segala kenangan pahit menjadi onggokan sejarah.
Perlahan kedua kelopak matanya membuka lagi menatap langit-langit kamar. Di situlah ia menemukan lukisan kenangan masa lalunya. Masa-masa yang membuatnya merasa nyaman dengan kasih sayang ayah, ibu, saudara, dan teman-temannya.
Sudah beberapa hari bahkan seminggu lamanya ia tak dapat tidur dengan nyenyak. Pikirannya selalu dihantui perasaan bersalah. Salah pada diri sendiri, pada isteri, ayah, ibu, saudara, dan teman-temannya yang menyebabkannya merasa terasing. Kesalahan yang teramat dirasakannya adalah kesalahan pada isterinya yang ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu, persis sehari setelah melangsungkan pernikahannya. Ia tak bisa berbuat banyak. Inilah kenyataannya. Ia tak bisa mencintai isterinya. Siapakah yang bersalah? Kenyataannya memang aku tak bisa mencintai isteriku. Pertanyaan itulah yang membuat lelaki itu selalu merasa terpojok.
Malam itu adalah malam menjelang pergantian tahun. Ia kembali mentamasyakan pikirannya jauh ke masa silam, entah berapa tahun yang lalu. Saat itu dengan dingin ia tinggalkan rumah persis sehari setelah melangsungkan perkawinannya. Isterinya yang belum sempat dijamahnya hanya bisa menyaksikan kepergiannya dengan linangan air mata. Lelaki itu pergi meninggalkan isteri, ayah, ibu, saudara, dan teman-temannya. Meninggalkan semua orang yang pernah mencintainya.
“Maafkan aku! Aku tak bisa mencintaimu,” ucapnya lirih pada isterinya yang baru saja ia nikahi. Lalu ia pergi. Itulah ucapan terakhir menjelang kepergiannya. Aku tak mau mengorbankan perasaanku untuk sesuatu yang tidak aku senangi, pikirnya ketika itu. Ia merasa ayah dan ibunya telah memerkosa kebebasannya sebagai manusia dengan cara menjodohkannya kepada perempuan cantik pilihan mereka. Ya, isterinya memang cantik. Tapi entahlah, kecantikan isterinya itu tak membuat ia berhasrat kepadanya.
Haruskah aku mengorbankan perasaanku hanya untuk mengikuti keinginan ayah dan ibu? Pertanyaan itu selalu membelenggu pikirannya. Dan jawabannya tetap saja, tidak.
***
Hari-hari pertama sejak ia pergi meninggalkan rumah merupakan hari-hari yang sangat menyiksanya. Bayangan isteri, ayah, ibu, saudara, dan teman-teman yang mengasihinya selalu berkelebat di pelupuk matanya. Kadang ia merasa berdosa kepada mereka. Kadang ia merasa benci juga. Namun, sisi hatinya tak sanggup menolak kenyataan. Kenyataan yang sungguh pahit, yang menjadi beban teramat berat yang mesti dipikulnya selama menjalani hidup.
Kadang ia merasa kasihan pada isterinya yang ia tinggalkan sebelum sempat menikmati malam pengantin. Lalu timbul perasaan berdosa yang teramat besar. Tapi siapa yang patut disalahkan kalau memang kenyataannya begini? Kadang ia ingin protes pada Tuhan atas takdir hidup yang dijalaninya, yang menurutnya sungguh tidak adil. Takdir yang selalu membuatnya merasa berdosa pada isterinya. Haruskah aku menyalahkan Tuhan? Tanyanya dalam hati seolah ia tidak meyakini apa yang sedang dirasakannya. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, lalu menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan cepat seolah sedang melepaskan beban yang selama ini menindih pikirannya.
Malam semakin larut. Lelaki itu melirik jam dinding. Pukul 23.57 WIB. Artinya, tinggal beberapa menit lagi tahun akan berganti. Gemerisik angin di luar jendela terdengar memecah sunyi. Kisi-kisi jendela masih membiarkan cahaya bulan leluasa menerobosnya. Tiba-tiba ia tersenyum. Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya, menyibakkan selimut yang meliliti tubuhnya. Ditekannya saklar yang menempel di dinding. Lampu neon 11 Watt menerangi ruangan kamarnya yang berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter persegi itu.
Ia raih sebuah terompet yang tergeletak di lantai bersama koran-koran bekas dan majalah yang berserakan. Terompet itu dibelinya siang tadi di pinggir jalan sebelum ia pulang. Ditatapnya terompet itu dalam-dalam. Bibirnya masih menyisakan sesungging senyum. Ia teringat akan teman-temannya yang selalu merayakan pergantian tahun di jalanan atau diskotek dengan meniup terompet keras-keras tepat pada jam dua belas malam. Dilanjutkan dengan acara minum bir sampai mabuk diiringi dengan alunan house music yang menghentak. Kegiatan seperti itu kerap ia ikuti setiap tahun semenjak ia pergi meninggalkan keluarganya. Tapi kali ini ia tidak merayakan pergantian tahun bersama teman-temannya. Ia ingin merasakan malam pergantian tahun sendiri saja sambil mengingat seluruh kenangan yang telah dilaluinya. Kali ini ia ingin meniup terompet khusus untuk isterinya yang telah lama ia tinggalkan. Semoga dengan begini perasaan berdosa pada isteriku akan berkurang, pikirnya.
Jarum jam melaju perlahan. Detik demi detik melaju mendekati angka dua belas. Suaranya lebih nyaring memecah sunyi. Jam 23.59.55 WIB. Lima detik lagi! Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam. Didekatkannya ujung terompet itu ke bibirnya. Dalam hitungan detik, jarum jam itu akan sampai pada angka dua belas. Satu hembusan saja akan bisa mengeluarkan suara yang nyaring dari terompet itu. Ia bersiap menghembuskan nafasnya. Jarum jam terus melaju perlahan mendekati angka dua belas. Lelaki itu menatap lirih jarum jam. Dalam hatinya ia mulai berhitung. Lima enam… lima tujuh… lima delapan… lima sembilan… dan… enam puluh!
Sunyi. Tak ada bunyi terompet yang bising keluar dari mulut lelaki itu. Ia diam terpaku menatap jarum jam. Tangannya gemetar memegang pangkal terompet. Perlahan dilepaskannya terompet itu dari bibirnya. Ia melangkah gontai menuju tempat tidur. Tubuhnya terasa sangat lemas. Ia hempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Matanya berkaca-kaca. Basah. Lalu jatuh mengaliri pipinya membentuk aliran sungai kecil di pipinya. Ia gigit sendiri bibirnya menahan isak. “ Aku tak bisa melakukannya untukmu,” ucapnya lirih. Tiba-tiba ia merasakan kepalanya berat sekali seperti tertimpa bongkahan batu.
Jarum jam telah jauh meninggalkan angka dua belas. Ia tak kuasa menahan kantuk yang datang menyergapnya. Perlahan ia katupkan kedua kelopak matanya. Kepalanya terkulai di atas bantal. Nafasnya bergerak teratur seiring detik-detik jarum jam meninggalkan malam. Suara dengkurnya sesekali terdengar lirih.
Lelaki itu baru terjaga ketika sayup-sayup telinganya mendengar suara langkah sepatu mendekat. Semakin lama suara langkah sepatu itu semakin jelas terdengar. Suara pintu terdengar berderit. Ia menggeliat bangun. Dikucek-kuceknya kedua kelopak matanya. Perih. Dilihatnya seseorang dengan gaun malam khas pesta berdiri di pintu dengan sesungging senyum. Senyum yang selama beberapa tahun terakhir ini mampu mendamaikan jiwanya. Orang itu berbadan langsing. Dengan langkah gemulai orang itu menghampirinya.
“Semalam yey nggak ke luar, Nit? Aih, kenapa Bo? Yey sakit?” tanya orang itu dengan gayanya yang centil. Lelaki yang ternyata dipanggil Nita itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit.
“Heh, semalam Om Harsono nanyain yey. Katanya kenapa yey nggak ke luar. Ya ike jawab aja kalau yey lagi sakit,” celoteh orang itu dengan gayanya yang masih tetap saja centil.. “Hey, jangan ngecewain pelanggan lho, nanti yey bisa-bisa ditinggalin! Mau cari doku dari mana lagi, Bo?” lanjutnya.
Lelaki itu hanya tersenyum pahit. Hatinya semakin terasa pedih. Pedih menerima kenyataan yang memang harus ia terima. Ia harus menanggung beban yang sungguh berat dirasakannya. Ia menoleh ke arah jam dinding, ke cermin, ke arah terompet yang tergeletak di lantai. Sekilas bayangan isterinya berkelebat. Hatinya berkata lirih, “Maafkan aku isteriku, karena kau perempuan!”***
Tanah Gintung, Agustus 2004

artikel

UJIAN NASIONAL RUNTUHKAN MORAL

Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/MA/SMK pada 21-23 April 2008 telah usai. Pelaksanaannya menyisakan beragam cerita. Nada-nada minor tentang pelaksanaan UN ini mulai merambat. Seperti pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya, cerita minor seputar UN ini rupanya telah menjadi rahasia umum.

Beberapa hari menjelang pelaksanaan UN salah satu media massa elektronik memberitakan bahwa telah terjadi tindakan asusila terhadap salah seorang siswi SMA di Jawa Tengah. Tindakan asusila tersebut dilakukan oleh seorang oknum paranormal terhadap seorang siswi SMA yang meminta jampi-jampi agar lulus UN. Alih-alih mendapat jampi-jampi, ia malah mendapat perlakuan yang tak senonoh dari sang paranormal.

Pada hari pertama pelaksanaan UN Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah sekolah penyelenggara UN. Bambang mendapati sejumlah pengawas di salah satu sekolah di Garut membawa alat komunikasi (handphone) padahal sesuai peraturan Badan Standard Nasional Pendidikan (BSNP) hal itu tidak dibenarkan karena berpotensi mendatangkan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Dan memang benar, kebocoran jawaban UN melalui SMS terjadi di beberapa sekolah di Bandung dan Makassar.

Pada hari kedua, 20 orang oknum guru di sebuah sekolah di Deli Serdang, Sumatera Utara, digiring oleh aparat kepolisian setempat karena kedapatan membagi-bagikan selembar kertas berisi jawaban soal-soal UN kepada peserta. Di salah sebuah sekolah di Jakarta sejumlah peserta UN dibiarkan tanpa pengawasan yang ketat. Akibatnya, Mendiknas yang kebetulan melakukan sidak, langsung melakukan sidang di tempat terhadap beberapa pengawas yang terlibat.

Meski pada hari ketiga terkesan adem-ayem, tetap saja pelanggaran-pelanggaran serupa terjadi di sekolah-sekolah penyelenggara UN di tanah air ini. Seperti yang dituturkan seorang peserta UN kepada penulis, ia mengaku bisa mengisi soal-soal UN dengan santai karena telah memiliki jawaban yang diperoleh dari guru-gurunya.

Tindak kecurangan dalam UN tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Ironisnya yang melakukan tindakan tersebut bukan hanya peserta didik, melainkan juga para guru yang notabene sebagai pendidik yang selalu mengajari anak didiknya untuk berbuat jujur. Rupanya kejujuran pada saat UN mesti dikesampingkan terlebih dahulu demi ’keselamatan’.

Di sini tampak jelas bahwa perilaku guru benar-benar digugu dan ditiru oleh murid-muridnya. Sayangnya, perilaku yang ditunjukkan para guru ini adalah perilaku negatif yang tidak selayaknya ditiru oleh para murid. Benar-benar kita telah menyaksikan sebuah degradasi moral pada sebagian guru dan murid di Indonesia.

Ada satu pertanyaan yang mengemuka, mengapa para pelaku tindak kecurangan itu adalah para guru dan murid? Rata-rata mereka berkilah bahwa mereka terpaksa melakukannya karena takut. Para murid takut tidak lulus UN dan harus mengulangnya pada tahun berikutnya. Guru-guru pun tak jauh beda. Mereka takut kalau murid-muridnya banyak yang tak lulus, maka kredibilitasnya sebagai pengajar akan jatuh. Mereka khawatir disebut guru yang tak mampu membuat anak didiknya pintar dan lulus UN. Menjaga nama baik sekolah juga dijadikan salah satu alasan mengapa para guru bertindak curang.

Perilaku sebagian guru dan murid ini secara tidak langsung telah menjatuhkan martabat bangsa. Hal ini tak sejalan dengan cita-cita pendidikan nasional yang menginginkan terciptanya sumber daya manusia berkualitas dan berbudi luhur. Ujian Nasional sebagai media untuk mencapai cita-cita luhur tersebut ternyata malah menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya moral anak-anak bangsa.

Sebenarnya kecurangan-kecurangan itu tak perlu terjadi manakala pemerintah dan para pelaku pendidikan seiring sejalan dalam melaksanakan cita-cita mulia ini. Namun, rupanya sulit sekali mewujudkan cita-cita itu karena kurangnya kesadaran semua pihak. Sekarang kenyataannya berbeda. Sulit sekali membentuk kesadaran secara global.

Rupanya pemerintah dalam hal ini Depdiknas, tak usah lagi menutup mata. Tinjaulah kenyataan yang ada. Apakah dengan diselenggarakannya UN lebih banyak mendatangkan manfaat atau mudharat? Jika sekiranya lebih banyak mendatangkan mudharat, mengapa penyelenggaraan UN masih tetap saja dipaksakan? Sudah saatnya pemerintah memikirkan program lain yang lebih baik sebagai pengganti UN atau kembali saja pada sistem EBTANAS seperti beberapa tahun yang lalu.

Jika kebijakan Ujian Nasional ini masih tetap dilaksanakan, maka bukan tidak mungkin kecurangan-kecurangan itu akan terulang lagi. Dan moral anak bangsa akan semakin runtuh. Semoga semua pelaku pendidikan di negeri ini menyadari dan bisa berbuat yang terbaik. Bukankah kita tak ingin mengalami degradasi moral? Bukankah cita-cita luhur mewujudkan manusia berkualitas, bermoral, beriman, dan bertakwa ingin kita wujudkan? Semoga.***

Tangerang, April 2008

Jumat, 04 Juli 2008

reportase

SPIRIT LASKAR PELANGI
: Temu Penulis Bersama Andrea Hirata



Beberapa waktu yang lalu Perpustakaan Pondok Pesantren Daar el-Qolam bekerja sama dengan penerbit Mizan menggelar acara “Temu Penulis Bersama Andrea Hirata”. Acara ini berlangsung pada hari Rabu, 16 April 2008, bertempat di Gedung Serba Guna Excellent Class Program.

Acara yang mengangkat tema ”Membangun Spirit Pendidikan di Indonesia” ini dihadiri oleh sekitar seribu orang santri. Acara yang sedianya digelar pada pagi hari terpaksa diundur hingga siang selepas shalat Dzuhur karena pihak manajemen Andrea Hirata meminta pemunduran jadwal.

Dengan mengenakan pakaian batik dan peci hitam, Andrea Hirata tampil sangat bersahaja. Ia tampak akrab menyapa para santri yang memang sudah lama menanti-nanti kehadirannya. Sebelum acara dimulai, penulis yang melejit lewat novel Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor ini menyempatkan diri berfoto bersama para santri.

Acara temu penulis yang dipandu oleh Imam Risdiyanto, editor Laskar Pelangi, berlangsung sangat menarik. Dibuka dengan sambutan Ustadz Chamdan Widadi, direktur Excellent Class Program, Andrea tampil cukup interaktif. Tak sungkan ia meminta beberapa orang santri untuk sekadar unjuk kebolehan. Ada yang baca puisi, ada juga yang membaca penggalan novel Laskar Pelangi.

Tujuannya, Andrea ingin mengetahui tingkat percaya diri para santri. Dan ternyata beberapa orang santriwan dan santriwati yang ditunjuk, tampil cukup percaya diri. Andrea pun mengaku sangat bangga. Percaya diri sangat diperlukan jika seseorang ingin berhasil. “Saya bisa seperti sekarang ini karena saya punya rasa percaya diri,” ujarnya disambut tepukan tangan hadirin.

Menurutnya, ada tiga hal yang dibutuhkan seseorang jika ia ingin berhasil, yaitu punya mimpi, percaya diri, dan mencintai ilmu. Seseorang yang punya mimpi senantiasa akan berusaha mewujudkan mimpinya. Untuk itu, rasa percaya diri sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan mimpinya itu. Namun, punya mimpi dan punya rasa percaya diri saja belum cukup. Seseorang juga mesti mencintai ilmu dalam upaya mewujudkan mimpinya itu. Demikian pesan utama yang disampaikan Andrea Hirata bagi para santri Daar el-Qolam.

Selanjutnya acara temu penulis ini berlangsung lebih interaktif. Para santri cukup antusias menyimak paparan Andrea Hirata. Mereka pun aktif mengajukan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan novel best seller itu. Andrea pun dengan sabar menjawab semua pertanyaan.

Acara semakin meriah tatkala Andrea mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji daya simak para santri. Santri yang berhasil menjawab pertanyaan Andrea dengan tepat berhak mendapatkan bingkisan berupa buku dan merchandise dari manajemen Andrea Hirata.

Sayang sekali, acara mesti berakhir menjelang adzan Ashar. Raut gembira terpancar dari wajah para santri begitu usai mengikuti acara ini. Semoga hadirnya Andrea Hirata dapat menambah motivasi para santri untuk meraih kesuksesan. Semoga pula sesuai dengan tema acara ini, para santri semakin memiliki spirit untuk terus mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Di akhir acara, direktur Excellent Class Program berkesempatan memberikan kenang-kenangan untuk Andrea Hirata berupa buku Pesantren Daar el-Qolam Menjawab Tantangan: Biografi Kepemimpinan K.H. Ahmad Rifa’i Arief. Andrea pun menerimanya dan tak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya atas sambutan yang diberikan Daar el-Qolam. Ia mengaku gembira, ternyata santri-santri Daar el-Qolam memiliki apresiasi yang positif terhadap karya-karya Andrea Hirata.

Inilah acara temu penulis terbesar yang pernah digelar Daar el-Qolam setelah sebelumnya sukses menghadirkan beberapa penulis terkenal seperti Nova Rianti Yusuf, Gola Gong, Asma Nadia, Boim Lebon, Teguh Iman Perdana, Ade Armando, dan Farid Gaban. Semoga dengan hadirnya para penulis sukses tersebut dapat menumbuhkan minat baca dan motivasi menulis bagi para santri.***

Tanah Gintung, April 2008